Toto Sudarto Bachtiar adalah seorang penyair dasawarsa 1950-an yang diperkenalkan pertama kali oleh H.B. Jassin dengan sajaknya yang berjudul "Ibu Kota Senja". Toto Sudarto Bachtiar lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929. Toto meninggal pada hari Selasa, 9 Oktober 2007, di rumah salah seorang familinya di Cisaga, Ciamis, Jawa Barat. Toto meninggalkan seorang istri, Zainar (80), seorang putri, Sri Adila Perikasih serta dua orang cucu. Pendidikan yang ditempuhnya HIS di Banjar (Ciamis), Sekolah Pertanian di Tasikmalaya, Mulo di Bandung, dan terakhir pernah kuliah di Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Selain dikenal sebagai penyair yang kuat pada tahun 1950-an, Toto dikenal sebagai penerjemah yang baik. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda dan Inggris menjadi modalnya untuk berkenalan dengan sastra dunia yang kemudian ia terjemahkan.
Karya terjemahannya, antara lain, Pelacur (drama, Jean Paul Sartre, 1954), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan (1976) novel Ernest Hemingway, dan Sanyasi (1979) drama Rabindranath Tagore.
Menurut pengakuannya dalam wawancara tahun 2002 di Bandung, ia menunggu penerbit untuk terjemahan karya Leo Tolstoy yang berjudul Perang dan Damai. Nama Toto juga sudah begitu akrab di telinga anak-anak yang masih menginjak bangku sekolah dasar.
Namanya akrab di telinga anak-anak karena puisinya sering muncul di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga memusikalisasi puisi. Musikalisasi puisi karyanya disebar ke sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. Bahkan, pada 1987, penyanyi Ari Malibu dan Reda Gaudiamo menyanyikan dua lagu yang digubah dari puisi karya Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul "Gadis Peminta-minta" dan Puisi karya Goenawan Mohammad yang berjudul "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi".
Kedua lagu itu dijadikan album mini berisi musikalisasi lima puisi karya penyair terkenal Indonesia. Kegiatan tersebut menjadi bagian dari Proyek Pekan Apresiasi Seni. Pekan Aprersiasi Puisi tersebut digarap oleh A.G.S. Arya Dipayana, yang diprakarsai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Fuad Hassan dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Album mini yang berisi musikalisasi puisi tersebut kemudian disebar ke sekolah-sekolah untuk bahan apresiasi apresiasi sastra. Konon, bahan ajar tersebut disukai oleh para pelajar.
Toto Sudarto Bachtiar termasuk penyair generasi penerus Chairil pada dasawarsa 1950-an. Toto Sudarto Bachtiar bersama dengan Sitor Situmorang dan Harijadi S. Hartowardoyo, yang disebut sebagai generasi kisah oleh Subagio Sastrowardoyo.
Toto Sudarto Bachtiar aktif menulis. Karyanya tersebar di majalah Siasat (dalam kolom Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah AURI (Sekrang TNI AU) Angkasa. Beberapa kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Suara (1956), yang memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1956. Kumpulan sajaknya yang kedua Etsa (1958). Dengan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kedua buku itu, Toto Sudarto Bachtiar digolongkan sebagai penyair yang kuat pada dasawarsa 1950-an.
Toto Sudarto Bachtiar Sumber Gambar: ensiklopedia.kemendikbud.go.id |
Selain dikenal sebagai penyair yang kuat pada tahun 1950-an, Toto dikenal sebagai penerjemah yang baik. Penguasaannya terhadap bahasa Belanda dan Inggris menjadi modalnya untuk berkenalan dengan sastra dunia yang kemudian ia terjemahkan.
Karya terjemahannya, antara lain, Pelacur (drama, Jean Paul Sartre, 1954), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan (1976) novel Ernest Hemingway, dan Sanyasi (1979) drama Rabindranath Tagore.
Menurut pengakuannya dalam wawancara tahun 2002 di Bandung, ia menunggu penerbit untuk terjemahan karya Leo Tolstoy yang berjudul Perang dan Damai. Nama Toto juga sudah begitu akrab di telinga anak-anak yang masih menginjak bangku sekolah dasar.
Namanya akrab di telinga anak-anak karena puisinya sering muncul di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Tidak hanya itu, dia juga memusikalisasi puisi. Musikalisasi puisi karyanya disebar ke sekolah-sekolah untuk apresiasi sastra. Bahkan, pada 1987, penyanyi Ari Malibu dan Reda Gaudiamo menyanyikan dua lagu yang digubah dari puisi karya Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul "Gadis Peminta-minta" dan Puisi karya Goenawan Mohammad yang berjudul "Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi".
Kedua lagu itu dijadikan album mini berisi musikalisasi lima puisi karya penyair terkenal Indonesia. Kegiatan tersebut menjadi bagian dari Proyek Pekan Apresiasi Seni. Pekan Aprersiasi Puisi tersebut digarap oleh A.G.S. Arya Dipayana, yang diprakarsai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, Fuad Hassan dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Album mini yang berisi musikalisasi puisi tersebut kemudian disebar ke sekolah-sekolah untuk bahan apresiasi apresiasi sastra. Konon, bahan ajar tersebut disukai oleh para pelajar.
Toto Sudarto Bachtiar termasuk penyair generasi penerus Chairil pada dasawarsa 1950-an. Toto Sudarto Bachtiar bersama dengan Sitor Situmorang dan Harijadi S. Hartowardoyo, yang disebut sebagai generasi kisah oleh Subagio Sastrowardoyo.
Toto Sudarto Bachtiar aktif menulis. Karyanya tersebar di majalah Siasat (dalam kolom Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur majalah AURI (Sekrang TNI AU) Angkasa. Beberapa kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Suara (1956), yang memperoleh Hadiah Sastra BMKN tahun 1956. Kumpulan sajaknya yang kedua Etsa (1958). Dengan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kedua buku itu, Toto Sudarto Bachtiar digolongkan sebagai penyair yang kuat pada dasawarsa 1950-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar